Kesuksesan memiliki banyak definisi dan variasi tolok ukur. Beberapa dari kita meyakini bahwa sukses adalah mencapai posisi tertinggi di kantor. Sukses juga dimaknai memiliki kecukupan finansial. Ada sebagian lagi yang berpandangan bahwa kesuksesan merupakan sebuah predikat penghargaan dari kolega dan khalayak atas prestasi yang telah digapai, et cetera2. Dari bermacam definisi dan tolok ukur itu, satu hal yang dapat disimpulkan bahwa kesuksesan merupakan pencapaian impian melalui sebuah proses terstruktur dan terencana. Persoalannya, tak semua orang bisa sukses. Kemudian muncullah pertanyaan: mengapa bisa demikian?
John G. Young, pengarang buku berjudul Will and Won't: Autonomy and Creativity Blocks (2002), berpendapat bahwa kreativitas—memiliki impian juga bisa dikatakan bahwa seseorang memiliki kreativitas, yaitu kreativitas untuk bermimpi dan kreativitas mewujudkan impian tersebut—membutuhkan motivasi dari orang lain. “Memiliki keterampilan, bakat, dan kemampuan kreatif untuk menciptakan impian besar”, papar Young, “tidak otomatis membuat seseorang melakukan aktivitas yang menghasilkan output kreatif. Ia bisa memilih tidak melakukan aktivitas kreatif. Jadi, faktor dorongan atau motivasi sangat penting di sini.”
Ada sebuah anekdot menarik. Ada tiga kucing yang bertonggok di atas pagar. Dua di antaranya memutuskan untuk melompat turun. Ada berapa kucing yang masih nongkrong di atas pagar? Jawabannya adalah: masih tetap ada tiga kucing!
Lho, kok bisa?
Ya bisa. Sebab....
Ups, malah lupa! Udah panjang lebar nulis bla bla bla tapi kami belum memperkenalkan diri siapa kami sebenarnya. Oke, kalau begitu, sebelum kita mengetahui jawaban dari pertanyaan di atas, izinkanlah kami sekadar memperkenalkan diri terlebih dulu.
Kami lahir dari kelakar yang terlontar di tempat angkringan sudut kota Jogja: AMT. Ya, AMT. Tapi jangan berandai-andai bahwa AMT adalah sebuah kelompok yang wah. AMT hanyalah singkatan dari angkring meeting team, sebuah team yang aneh bin nyeleneh. AMT beranggotakan berbagai latar belakang, mulai dari mahasiswa angkatan tua, pengusaha, karyawan swasta, dan seterusnya. Namun, anggota AMT memiliki nasib yang sama: kelebihan pekerjaan, sehingga bingung mau memprioritaskan pekerjaan yang mana. Akhirnya muncul pikiran gila: ngapain terus-terusan sibuk kalau ga bisa kaya?? Selanjutnya, AMT berkembang menjadi sebuah usaha bersama yang berslogan Sukses Hidup Sukses: bahwa untuk sukses hidup, hidup kita harus sukses. Tetapi dalam paradigma AMT, kesuksesan tidak melulu diukur dari banyaknya materi. Materi hanyalah sarana penunjang untuk mewujudkan kesuksesan.
Intinya, AMT adalah.... Ah sudahlah! Tidak perlu membangga-banggakan diri sampai berbusa-busa. Yang penting Anda semua sudah ada gambaran—minimal bayangan walau masih sangat suram—tentang kami. Malu karena tiba-tiba ingat ucapan Ignas Kleden, “Menganggap remeh sesuatu yang penting adalah sebuah tragedi. Tapi melebih-lebihkan kepentingannya adalah sebuah komedi.”
Baik, kembali ke jalan yang benar. Kembali kepada tiga kucing yang bertonggok di atas pagar, sementara dua di antaranya memutuskan untuk melompat turun. Ternyata, sisa kucing yang tersisa di atas pagar tetap sama: yakni tiga!
Lho, kok bisa?
Ya bisa. Sebab, memutuskan untuk melompat tidak berarti betul-betul melompat secara fisik. Tidak adanya “lompatan secara fisik” dipengaruhi oleh banyak variabel, bisa karena masih ragu atau bimbang, menunggu hari esok, masih merasa nyaman dan betah (istilah gaulnya “pw” alias “posisi wenak”;) dengan keadaan saat ini, bisa juga karena takut jika “lompatan secara fisik” yang akan dilakukan malah akan membuat dirinya lebih tidak nyaman. Karena itu, kembali pada Young, “dua kucing” yang memutuskan hendak melompat turun itu mesti dilecut dengan motivasi agar mereka benar-benar tergerak untuk “melompat secara fisik”. Namun, “dua kucing” itu tetap tidak akan pernah melompat turun jika sang motivator meninggalkan atau memberikan ruang bagi keraguan dalam hati serta pikiran kedua kucing tersebut.
Ah, setelah saya baca-baca lagi, kok teoretis banget, ya? Mungkinkah itu bisa diaplikasikan ke dalam kehidupan nyata? Kalau bisa, bagaimana caranya? Tapi jika ternyata tidak bisa, ada pertanyaan rumit yang menyertai: mengapa tidak bisa? Aha! Teka-teki yang menantang untuk dipecahkan! Bagaimana respons Anda?